Kritik Objektif puisi "Kepada Peminta-minta"




Kepada Peminta-minta
(Chairil Anwar)
 
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kamu bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Dibibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segela dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
                                                         
Analisis Puisi Menggunakan Kritik Objektif
Struktur Karya Sastra
Puisi di atas terdiri dari lima bait dan tiap bait terdapat empat baris. Seluruh bait dan baris itu si aku mengungkapkan sebuah rasa yang tidak nyaman. Seperti rasa takut, sesal, marah terhadap hidupnya sendiri. Puisi ini cukup abstrak karena dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Banyak terdapat konotasi dalam puisi ini. Terdapat citraan yang bisa menguatkan penafsiran kita. Dalam hasil pembacaan puisi ini, dapat diartikan bahwa si peminta-minta itu adalah seorang pengemis dalam arti sesungguhnya. Dan si aku adalah seorang yang melihat si peminta-minta, si aku merasa bersalah ketika melihat keadaan si peminta-minta yang begitu mengenaskan. Lebih-lebih si aku merasa terpojok ketika si peminta-minta melihat si aku dengan tatapan yang mengingatkan akan segala dosa si aku. Rasa gelisah melihat penderitaan sesama sangat kuat dirasakan oleh si aku.

a.    Diksi
Pilihan kata dalam puisi berjudul “Kepada Peminta-minta” menggunakan kata-kata yang bernada penuh penyesalan, dipantulkan oleh kata-kata :
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Pilihan kata dalam puisi berjudul “Kepada Peminta-minta” ada yang susah untuk dijelaskan  tetapi hal itu dianggap lebih kreatif dan juga berupa citraan kesakitan yang menunjukkan koherensi yang kuat, sebagai berikut : darahku jadi beku, sudah tercacar, nanah meleleh, kau usap juga, mengerang, menetes, merebah, mengganggu, menghempas di bumi keras, bibirku terasa pedas, mengaum di telingaku, segala dosa, darahku jadi beku. Semua itu menunjukkan bahwa orang yang sadar kepada dosa-dosanya itu rasanya sangat sakit dan sangat menderita dan tersiksa.
Dalam  puisi tersebut si aku merasa terkejar-kejar oleh rasa dosa karena ada seorang “Peminta-minta” yang selalu memandangnya, yang selalu menatapnya. Si aku sadar akan sodanya kepada Dia (Tuhan). Si aku merasakan rasa dosanya itu begitu mencekam. Rasanya dosa si aku itu sudah tercermin dalam muka si peminta-minta seolah-olah si peminta-minta itu selalu mengingatkan rasa dosa si aku di mana ia berada.
Rasa dosa itu begitu hebat sehingga mengganggu sampai ke mimpi. Si aku berjanji akan selalu mengingat Tuhan dan menyerahkan dirinya. Ia sudah sadar dan merasa betul-betul bersalah, maka ia sangat tersiksa bila ditentang lagi (diperingatkan akan dosa-dosanya) membuat ia mati ketakutan karena rasa dosa tersebut.
Saya kira yang di lakukan Chairil dalam terjemahannya adalah usaha memberikan makna akan sajak terjemahan bebas kreatifitasannya. Proses kreatif dalam penciptaan sajak-sajak terjemahan itu berlangsung melalui pemilihan kata dalam puisi tersebut untuk memperkaya bahasa Indonesia dalam pengucapan seni puisi.
b.   Sudut Pandang
Puisi ini cukup sederhana tetapi cukup mampu mengundang berbagai tanggapan diantara pengamat sastra. Hal itu disebabkan karena pengamat yang bersangkutan mengacaukan pengertian si aku sebagai pengarang sekaligus pelaku. Ada pula yang menganggap puisi ini sebagai simbolis cerita realis.
Masuknya si aku ke dalam struktur penceritaan tentu bukan tanpa motif tertentu, yang kerapkali tidak dinyatakan secara eksplisit. Pengamat belum melihat sisi pembedaan, kemungkinan besar akan menghasilkan penilaian yang kurang tepat.

c.    Setting
Pelukisan latar tempat dalam puisi ditunjukkan oleh citra-citra kehidupan yaitu pada bait pertama yang menyadari akan dosa yang telah diperbuat di dunia.
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

d.   Tokoh
Si aku dalam puisi diatas lebih bertindak sebagai pelaku yang dimanfaatkan sebagai latar. Pada dasarnya puisi Kepada Peminta-minta menceritakan bahwa si aku mengungkapkan sebuah rasa yang tidak nyaman. Seperti rasa takut, sesal, marah terhadap hidupnya sendiri. Puisi ini cukup abstrak karena dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Banyak terdapat konotasi dalam puisi ini. Terdapat citraan yang bisa menguatkan penafsiran kita. Dalam hasil pembacaan puisi ini, dapat diartikan bahwa si peminta-minta itu adalah seorang pengemis dalam arti sesungguhnya. Dan si aku adalah seorang yang melihat si peminta-minta, si aku merasa bersalah ketika melihat keadaan si peminta-minta yang begitu mengenaskan. Lebih-lebih si aku merasa terpojok ketika si peminta-minta melihat si aku dengan tatapan yang mengingatkan akan segala dosa si aku. Rasa gelisah melihat penderitaan sesama sangat kuat dirasakan oleh si aku.




e.     Kata konkret
Kata konkret menumbuhkan pengimajian dalam pikiran pembaca. Si aku merasakan dosanya itu begitu mencekam. Maka, si aku meminta kepada peminta-minta itu jangan bercerita tentang dosa-dosa manusia (si aku). Rasanya dosa si aku itu sudah tercermin dalam muka  si peminta-minta itu, misalnya pada bait kedua:
/Sudah tercacar semua di muka/
/Nanah meleleh dari muka/
Seperti kata kena cacar dan bernanah, selalu meleleh, dan selalu diusap oleh si peminta-minta sambil berjalan. Seolah-olah si peminta-minta itu selalu mengingatkan rasa dosa si aku di mana pun ia berada.
Selain itu, pada bait keempat, rasa dosa itu begitu hebatnya sehingga mengganggunya sampai ke mimpi si aku. Rasanya si aku seperti dihempaskan di bumi yang keras oleh rasa dosa yang selalu mencekamnya, selalu mengejar-ngejarnya. Hal itu membuat bibirnya pedas dan telinganya mengaum karena sakitnya.
Mengganggu dalam mimpiku/ Menghempas aku di bumi keras/ Di bibirku terasa pedas/ Mengaum di telingaku/.
Selain dikonkretkan, untuk menyatakan betapa tersiksanya si aku juga dipergunakan dalam sajak tersebut sarana kiasan atau bahasa figuratif.

f.     Bahasa figuratif
Dalam sajak tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan, dan menimbulkan tanggapan yang konkret kepada pembaca. Misalnya sebagai berikut.
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
….
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
….
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
g.    Versifikasi
Versifikasi dalam puisi ini masih mengikuti pola puisi lama. Rima akhir setiap bait adalah sebagai berikut: /ia-sa-ku-ku (aabb). ta-ka-ka-ga (aaaa), ah-ang-ang-ah (abba), ku-as-as-ku (abba), dan ia-sa-ku-ku (aabb). Pola ini mengingatkan kita pada syair, pantun, dan puisi baru. Namun karena struktur lainnya tidak sama, maka puisi di atas bukan puisi lama tetapi merupakan puisi baru. Pola rima akhir pada bait kedua berubah menjadi /aaaa/ bukan /aabb/ begitu juga pada bait ketiga dan keempat berubah menjadi pola  /abba/.
Ritma puisi berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama digunakan  /baik,baik/, pada bait kedua digunakan /jangan lagi/, pada bait ketiga digunakan /bersuara tiap/, pada bait keempat digunakan /mengganggu/, pada bait terakhir digunakan  /baik,baik/. 
Setiap bait puisi itu diikat dengan kata pengikat sehingga pada permulaan bait seakan muncul sebuah gelombang irama baru.

Komentar